Aku telah dilanda keinginan mengebu
untuk menikah. Bahkan sudah kujalani semua cara agar cepat bisa melaksanakan
sunah Rasul yang satu ini. Malah aku selalu mengimpikannya di tiap malam
menjelang tidur.
Gadis yang kuidamkan sejak kecil,
bahkan menjadi teman main bersama, ternyata dinikahi orang lain. Padahal dia
sudah ngaji. Sedih juga rasanya. Ada juga yang aku dapatkan dari orang yang aku
kenal baik, dan sudah kujalani “prosedurnya”. Tapi ternyata kandas karena aku
dinilai masih terlalu muda untuk menikah.
Akhirnya , aku kenal dengan seseorang
yang sesuai dengan kriteria. Aku mengenalnya dengan perantaraan teman dekatku.
Jujur saja, aku telah mendapat biodatanya, juga gambaran wajahnya. Langsung
saja kukatakan pada teman dekatku bahwa aku sangat-sangat setuju.
“Eh, ente (kamu) harus ketemu dulu
dan tahu dengan baik siapa dia,” kata temanku.
Tapi kujawab enteng, “Tapi ane (aku)
langsung sreg kok”.
“Ya sudah, terserah ente aja lah,”
sahut temanku sambil geleng-geleng kepala.
Karena aku yakin pacaran jelas-jelas
dilarang dalam Islam sebab hal itu adalah jalan menuju zina, aku pun tak
menjalaninya. Jangankan zina, hal-hal yang akan mengarahkan kepadanya saja
sudah dilarang. Oleh karena itu, aku hanya menunggu waktu kapan ada pembicaraan
awal antara aku dan Maisya (akhwat incaranku itu). Sabar deh, sementara ikuti
saja seperti air mengalir.
Lewat kurang lebih 2-3 minggu
mulailah terjadi pembicaraan antar aku dan Maisya. Ketika kuberanikan diri
memulai pada poin yang penting yaitu mengungkapkan niatku untuk menikahinya,
apa jawabnya? Aku disuruh menghadap murabbinya (guru/pembimbing).
“Kenapa tidak ke orang tua Maisya
saja?” tanyaku.
“Tidak, pokoknya akhi (saudara
lelaki) harus ketemu dulu sama Murabbi saya.” jawabnya.
Aku baru tahu, ada seorang akhwat
ketika ada yang ingin menikahinya disuruh menghadap Murabbinya, bukan orang
tuanya. Padahal, di antara birrul walidain adalah menjadikan orang tua sebagai
orang yang pertama kali diajak diskusi tentang pernikahan, bukan gurunya,
ustadznya, atau siapa pun. Barulah kutahu itu merupakan kebiasaan akhwat-akhwat
tarbiyah (pergerakan).
***
Aku catat alamat murabbi (MR) yang
Maisya sebutkan. Pada hari Ahad kuajak 2 teman dekatku untuk menemani ke rumah
sang MR. Dengan sedikit kesasar akhirnya sampailah kami di rumahnya. Tapi
setelah pencet tombol tiga kali dan “Assalamu’alaikum” tiga kali tak dibuka,
kami pun pulang dengan agak kecewa, sebab siang itu adalah jam 2, saat matahari
sangat terik menyengat.
Kutelepon Maisya bahwa aku tak bisa
ketemu MR-nya. Maisya membolehkanku hanya dengan menelepon MR. Malam itu juga
aku pun menelepon dan alhamdulillah nyambung. Aku ditanya segala macam yang
berkaitan dengan agama. Dari masalah belajar, kerja, ngaji, tarbiyah,
murabbi-ku, ustadz yang sering kuikuti kajiannya, sampai buku-buku yang sering
kubaca. Juga, pertanyaan-pertanyaan tambahan lainnya.
Dengan polos dan santai kujawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Yang membuatku heran, ketika kusebutkan nama
ustadz-ustadz yang sering kuikuti kajiannya sampai, nada MR agak beda dari awal
pembicaraan. Terutama ketika kusebutkan kitab-kitab yang sering kujadikan rujukan
dalam memahami agama. Aku belum tahu kenapa bisa begitu.
Kuceritakan pembicaraan itu pada
teman dekatku. Ternyata temanku menjawab dengan nada menyesal.
“Aduh, kenapa tidak bicarakan dulu
denganku. Ente tahu? Kalau akan menikahi akhwat tarbiyah sedang ente tidak ikut
dalam tarbiyah atau liqa’ tertentu dan punya MR, maka ente otomais akan
ditolak. Apalagi ente sebutkan nama-nama ustadz, buku-buku dan para syeikh
Timur Tengah, bakalan ditolak deh, itu sudah ma’ruf (populer).”
“Lho kan ane jawab jujur, saat ini
ane tidak ikut tarbiyah, atau apa namanya tadi, liqa’? Ya memang aku tak ikut.
Ane juga nggak punya MR dong. Oo.., jadi begitu ya?” aku hanya melongo.
***
Beberapa hari kemudian, aku dapat
telpon dari Maisya yang menjadikan hatiku sedikit hancur.
“Assalamu’alaikum, akhi saya sudah
mempertimbangkan semuanya, mungkin Allah belum menakdirkan kita berjodoh.
Semoga kita sama-sama mendapatkan yang terbaik untuk pasangan kita, saya minta
maaf, kalau ada kesalahan selama ini, Assalamu’alaikum,”
“Kletuk, nuut nuut nuut” terdengar
suara gagang telpon ditutup dan nada sambung terputus.
Aku masih memegang gagang telepon dan
hanya bisa melongo mendapat jawaban tersebut. Kutaruh gagang telpon dengan
lunglai. “Astagfirullah,” kusebut kata-kata itu berulang kali. Apa yang harus
kuperbuat? Tak tahu harus bagaimana. Tapi sohib dekatku yang dari tadi
memperhatikanku waktu menelepon nyeletuk .
“Ditolak ya? Udah deh, kan masih
banyak harem (wanita) lain, ngapain ngejar-ngejar ngapain ngejar-ngejar yang
sudah jelas-jelas nolak.”
Aku jawab saja dengan ketus, “Ane
belum nyerah, karena ada janggal dalam pemolakan it, ane belum yakin dia
menolak, akan ane coba lagi”.
“Udah deh jangan terlalu PD,” sahut
sohibku.
Ternyata bener juga kata temanku itu,
jawaban-jawabanku kepada MR menyebabkan aku ditolak oleh Maisya. Aku dipandang
beda manhaj dalam memahami Islam, padahal yang kusebutkan waktu menjawab
pertanyaan tentang buku-buku rujukan adalah Fathul Majiid, Al-Ushul
Al-Tsalatsah, dan kitab-kitab karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Muhammad
Shalih Utsaimin, yang semuanya aku tahu bahwa mereka selalu mendasarkan
bahasannya kepada dalil-dalil yang shahih.
Hatiku sudah terlanjur cocok sama
Maisya. Jujur aku sudah merasa sreg sekali kalau Maisya jadi pendamping
hidupku. Tapi aku ditolak. “Apa yang harus kuperbuat?” kataku dalam hati.
Menyerah kemudian mencari yang lain? Baru begitu saja kok nyerah.
Tanpa sepengetahuan sohibku, kutulis
surat ke orangtua Maisya. Yang kutahu bahwa dia hanya punya ibu. Bapaknya sudah
meninggal saat Maisya berumur 8 tahun. Kutulis surat yang isinya kurang lebih
tentang proses penolakan itu. Juga janjiku jika ditolak oleh ibunya, maka aku
akan menerima dan tak akan menghubunginya lagi.
Dengan penuh harap kukirim surat
tersebut, tak disangka ternyata surat itu sampai di tangan Maisya dan
dibacanya. Alamak, kenapa bisa begitu? Untuk beberapa hari tidak ada respon. Gundah
gulana pun datang. Apa yang harus kulakukan?
Kuputuskan untuk mengirim surat ke
Maisya langsung. Semuanya aku ungkapkan dengan bahasa setengah resmi tapi
santai. Aku memang sedikit ndableg. Di penghujung surat tersebut kukatakan,
“Kalau memang Allah takdirkan kita tidak jodoh, saya punya satu permintaan,
tolonglah saya untuk mendapatkan pendamping dari teman-teman Maisya yang Maisya
pandang pas untuk saya, minimal yang seperti Maisya.”
Kupikir Maisya akan “tersungkur”
dengan membaca suratku yang panjang lebar. Aku berpikir seandainya ada orang
membaca suratku, pasti akan mengatakan “rayuan gombal!”. Tapi jujur saja, itu
berangkat dari hatiku yang paling dalam.
Surat kedua itu, qadarallah ternyata
malah diterima dan dibaca oleh ibu Maisya dan kakak perempuannya. Nah, dari
situkah terjadi kontak antara aku dan keluarganya. Tak disangka-sangka kudapat
telpon dari kakak perempuan Maisya, Kak Dahlia (tentu saja bukan nama asli).
Kak Dahlia menelepon dan memintaku untuk datang ke rumahnya guna klarifikasi
surat tersebut.
***
Seminggu kemudian kupeniuhi undangan
itu. Setelah bertemu dan “sesi tanya-jawab” , dengan manggut-manggut akhirnya
Kak Dahlia angkat bicara,
“Baiklah, kakak sudah dengar cerita
kamu, saya heran kenapa Maisya menolakmu, ya? Padahal menurut hemat kakak, kamu
pantas diterima kok”.
Hatiku berbunga-bunga mendengarnya,.
Tapi langsung surut lagi karena pernyataan itu datang dari Kak Dahlia bukan
Maisya. Aku sedikit senyum kecut menanggapi omongan kak Dahlia.
“Begini aja deh, kamu sekarang pulang
dulu. Biar nanti kakak dan Umi yang akan rayu Maisya. Pokoknya kamu banyak doa
aja. Pada dasarnya kami setuju kok sama kamu.”
Aku izin pulang dengan sedikit riang
gembira. Mulutku hanya bergumam penuh doa, semoga Allah mengabulkan
cita-citaku. Kira-kira 2 minggu setelah itu kudapat telpon lagi dari Kak Dahlia
agar aku ke rumahnya. Dia bilang aku harus bertemu langsung dengan Maisya.
Hatiku pun berdebar. Dengan sedikit gagap aku iyakan undangan itu. “Besok deh
Kak, insyaAllah saya datang,” jawabku.
Aku duduk di kursi ruang tamu yang
sama untuk kedua kalinya. Sedikit basa-basi Kak Dahlia mengajakku ngobrol
tentang hal-hal yang belum ditanyakan pada pertemuan sebelumya. Kurang lebih
10-15 menit Kak Dahlia memanggil Maisya agar ke ruang tamu menemuiku. Dadaku
berdegub. Inilah saatnya aku nadhar (melihat) bagaimana rupa Maisya yang
sebenarnya. Apa sama seperti yang kubayangkan sebelumnya? Jangan-jangan tidak
sama. Lebih jelek atau bahkan lebih cakep dari aslinya. Tunggu saja deh.
Tidak lama kemudian keluarlah sosok
makhluk Allah yang bernama Maisya. Aku tetap menjaga pandanganku. Tapi jujur
saja, tak kuasa kucuri pandang untuk yang pertama kalinya. Bahkan seharusnya
untuk acara nadhar biasanya lebih dari mencuri pandang, karena memang
dianjurkan oleh Rasulullah. Tapi bagiku sangat cukup melihatnya sekali-kali.
Aku hanya bisa mengatakan dalam hatiku tentang Maisya, subhanallah! Aku tak
bisa ceritakan kepada pembaca karena itu hanya untukku saja.
Tak sadar keringat dingin mengalir
dari pelipis. Ada apa gerangan? Kenapa rasanya agak grogi? Ah, aku harus teguh
dan tangguh hadapi semua ini. Obrolan pun mulai bergulir. Dari mulai
pertanyaan-pertanyaan agama secara umum sampai diskusi tentang kerumahtanggaan.
Kurang lebih satu jam aku di rumah itu. Aku pun pamit sambil memberikan
hadiah-hadiah buku-buku kecil tentang agama.
Di bus kota aku senyum-senyum
sendirian. Seakan-akan bus itu adalah bus patas AC padahal sebenarnya hanya bus
ekonomi yang panas dan penuh asap rokok. Tapi semua itu tidak kurasakan.
Kuberdoa semoga rayuan Kak Dahlia berhasil.
Ternyata benar, beberapa hari
kemudian aku ditelepon Maisya, kali ini menanyakan kelanjutan proses kami
kemarin. Kujawab jika dibolehkan akan kuajak keluargaku di waktu yang
kutentukan. Di penghujung pembicaraan, Maisya setuju dengan tawaranku.
Kutanya ke sana ke mari tentang
barang-barang apa yang pantas dibawa ketika meng-khitbah seorang wanita. Kubeli
sebuah koper kecil dan kuisi dengan barang-barang seperti bahan pakaian,
komestik, sepatu, dan sebagainya. Tak lupa aku bawakan buah-buahan seadanya.
Hal ini sebenarnya sudah kutanyakan kepada Maisya, tapi Maisya hanya menjawab
terserah aku mau bawa apa saja pasti dia akan terima. Duh…, senangnya.
Sebelumnya aku lupa, ternyata Maisya
masih punya darah Arab dari ibunya. Bahkan, ibunya punya nasab Arab yang
dikenal di Indonesia sebagai Habib (Orang Arab yang mengaku punya garis nasab
langsung dengan Rasulullah). Padahal setahuku Rasulullah tak punya keturunan laki-laki
yang kemudian punya anak. Yang ada hanya Fatimah yang diperistri oleh Ali bin
Abi Thalib. Sedangkan dalam Islam, darah nasab hanya sah dari garis bapak atau
lelaki (Koreksi: Cucu beliau dari anak-anak beliau merupakan termasuk keluarga
beliau yang berarti ahlul bait). Jadi, mungkin yang dimaksud mereka adalah
keturunan dari Ali bin Abi Thalib.
Satu hal yang perlu diketahui, bahwa
dalam adat orang Arab terutama golongan Habaib atau Habib, wanita mereka
pantang dinikahi oleh non Arab. Bahkan, sebagian mengharamkannya. Alasan yang
populer adalah mereka merasa lebih mulia dari keturunan non Arab. Bahkan,
sebagian mengharamkannya. Aku pun harus siap dengan apa yang akan aku hadapi
nanti. Bisa jadi ditolak atau tidak. Dan yang ada di depan mataku adalah ditolak.
Aku datang sekeluarga dengan naik
Taksi. Aku tidak punya mobil. Dari mana aku punya mobil sedangkan aku baru
bekerja setahun? Sambutan hambar kudapatkan ketika memasuki ruang tamu. Di situ
sudah hadir ibu-ibu yang merupakan keluarga besar dari ibu Maisya. Anehnya,di
acara itu tidak hadir laki-laki dari pihak keluarga besar Maisya.
Kemudian acara dilanjutkan dengan
saling memberi sambutan. Namun yang kutunggu hanya momen di mana Maisya
menerima lamaranku dari mulutnya sendiri. Saat itu pun tiba. Dengan agak
malu-malu dan terbata-bata Maisya menerima lamaranku.
Diakhir acara ketika hari penentuan
hari “H” dan bentuk acaranya. Ada salah satu dari anggota keluarga Maisya yang
menanyakan uang untuk walimah nanti. Aku hanya menjawab bahwa hal itu sudah kubicarakan
dengan Maisya. Tapi dia memaksaku untuk menyebutkan jumlahnya. Aku tetap tak
mau menyebutkan. Rupanya orang tadi kecewa berat dengan jawabanku.
Setelah acara selesai, aku pamit.
Sedikit lega kulalui detik-detik mendebarkan. Aku bersyukur kepada Allah yang
meloloskan diriku pada babak berikutnya dalam usaha mengamalkan sunah
Rasulullah yang mulia ini.
Ternyata ujian belum selesai juga.
Maisya didatangi keluarga besarnya dengan membawa lelaki yang akan dijodohkan
dengannya. Lamaranku ditimpa oleh lamaran orang lain. Orang yang akan
dijodohkan dengan Maisya masih punya hubungan keluarga. Mereka datang dengan
mobil, membawa makanan banyak sekali, uang lamaran, dan juga perhiasan.
Apa yang kubawa kemarin tidak ada
apa-apanya dibanding dengan yang dibawa pelamar kedua ini. Tapi subhanallah,
apa yang Maisya lakukan? Maisya tak mau menemuinya. Maisya tak menerima
lamarannya.
Bahkan setelah rombongan itu pulang
dan meninggalkan bawaan mereka sebagai lamaran untuk Maisya, apa yang Maisya
lakukan? “Kembalikan semua barang bawaannya dan jangan ada yang menyentuh walau
untuk mencicipi makanan, kembalikan dan jangan ada yang tersisa di rumah ini.”
Aku dapatkan cerita ini dari kak Dahlia yang meneleponku.
Mendengar semua ini, tak terasa air
mataku menetes membasahi pipiku. Padahal aku adalah lelaki yang selama ini
selalu berpantang untuk menangis. Saat itulah aku mulai yakin bahwa Maisya
harus kudapatkan, sekali pun harus menghadapi hal-hal yang menyakiti hatiku.
***
Beberapa hari kemudian aku mendapat
telepon dari seorang ibu yang mengaku bibi Maisya. Ketika kutanya namanya dia
tak mau menyebutkan. Malah dia nyerocos panjang lebar tentang acara lamaranku
kepada Maisya. Dengan nada sinis dan tinggi dia mulai merayuku untuk
membatalkan lamaranku. “Saya kasih tau ya! Kamu kan baru bekerja belum satu
tahun, belum punya rumah dan mobil. Sedangkan Juli Jajuli (bukan nama asli) kan
sudah punya kerjaan, rumah besar, mobil ada dua. Jadi, kamu batalkan lamaran.
Biar Maisya menerima lamaran Jajuli. Kamu kan bisa cari yang lain.”
Hhh! Betapa mendidih mendengar ocehan
sinis itu. Tapi aku langsung kontrol diri. Aku jawab dengan suara pelan dan
sopan bahwa aku akan terima hal itu dengan ikhlas tanpa ada paksaan dari siapa
pun. Sebelum kudengar langsung dari mulut Maisya, aku tak akan pernah
membatalkan lamaranku. Gubrakkkk!, terdengar suara gagang telepon dibanting,
padahal jawabanku belum selesai.
Suatu hari di tengah kesibukanku,
datanglah seorang wanita sekitar umur 25-30 tahun ke kantorku. Tanpa permisi
dan sopan santun dia menghampiriku, “Kamu yang melamar Maisya? Kamu tuh ga tahu
diri ya? Belum jadi menantu saja sudah belagu,” cerocosnya.
“Mohon tenang dulu, apa masalahnya?
Ayo kita duduk dulu di sini jelaskan dengan pelan,” sambutku dengan sabar.
“Kamu tuh kalo ngasih alamat yang
jelas, biar mudah dicari, saya sudah muter-muter mencari alamatmu tapi ternyata
tidak ketemu-ketemu, apa kamu mau mempermainkan kami?” tukasnya sambil
menunjukkan kartu namaku.
“Apa tadi ente tidak tanya sama
orang-orang?” tanyaku.
“Tidak!” jawabnya ketus.
“Ya jelas pasti kesasar, seharusnya
ente tanya-tanya dong,” sahutku.
“Aaah udah deh jangan banyak alasan,”
jawabnya. “Eh aku kasih tau ya, kau tuh jangan pernah macam-macam dengan
keturunan Nabi, kuwalat loh!”, ancamnya.
Dengan sedikit senyum kujawab
ancamannnya, “Kalo Nabi punya keturunan seperti ente, pasti Nabi akan sangat
marah pada ente. Wanita kok pakai celana jeans, kaos ketat, dan tidak
berjilbab. Nabi tentu akan malu jika punya keturunan seperti ente.” Wanita itu
kabur sambil ngomel-ngomel entah apa yang dia katakan.
Kejadian itu membuat hatuku semakin
was-was dan khawatir. Kalau demikian dengkinya mereka dengan pernikahanku
bersama Maisya, maka bisa jadi mereka akan lebih jauh lagi dalam memberikan
“teror”. Akankah mereka menghalangiku sampai pelaksanaan hari “H”? Wallahu
a’lam.
Yang jelas sebelum aku tanda tangan
surat nikah yang disediakan penghulu, maka aku belum bisa menentukan bahwa
Allah takdirkan aku menikahi Maisya. Semuanya bisa terjadi. Sabarkanlah diriku
ya Allah.
Dari telepon pula aku tahu bahwa
Maisya sempat disidang oleh keluarga besarnya untuk membatalkan pernikahan
denganku. Tapi dia lebih memilih akan kabur dari rumah dan tetap menikah
denganku. Padahal keluarganya memberi pilihan: batal nikah atau putus hubungan
keluarga.
***
Undangan mulai kucetak. Sederhana
sekali karena aku memang tidak punya biaya banyak untuk pernikahan ini. Aku
tidak punya saudara di kota tempat Maisya tinggal. Jadi undangan yang banyak
hanya untuk keluarga, tetangga, dan kenalan Maisya.
Hari H semakin dekat. Persiapan juga
semakin matang. Aku terharu lagi ketika ditanya, “Akhi siapnya ngasih berapa
untuk persiapan ini? Tapi jangan merasa berat dan terpaksa, kalau tidak ada ya
nggak apa-apa.” Aku hanya bisa tergagap menjawabnya. Ku katakan bahwa aku akan mendapat
sumbangan dari kantorku tapi perlu proses untuk cair, jadi sementara aku hanya
bisa beri sedikit. Itu pun sudah kupaksakan pinjam ke sana-sini. Tapi Maisya
menyambut hal itu dengan tanpa cemberut sedikitpun. Subhanallah.
Panitia pernikahan dari ikhwan sudah
aku siapkan. Aku bertekad bahwa pernikahan ini harus seislami mungkin, di
antaranya memisahkan antara tamu pria dan wanita walau mungkin akan mendapatkan
respon yang bermacam-macam. Aku tak peduli.
Keluarga Maisya pun tak tinggal diam.
Di antara mereka ada yang memintaku agar busana Maisya pada saat penikahan
nanti adalah busana pengantin pada umumnya. Astaghfirullah, usulan yang sangat
berlumuran dosa. Jelas kutolak mentah-mentah.
Ada juga yang nyeletuk agar
pernikahan kami dihibur dengan orkes atau musik gambus dan yang sejenisnya.
Tapi itu pun aku tolak. Ternyata sampai mendekati hari H pun aku harus beradu
urat syaraf dengan mereka.
Tibalah saatnya kegelisahanku yang
paling dalam. Aku sedang berpikir bagaimana jadinya jika ada yang mengacaukan
pernikahanku. Aku punya seorang saudara marinir. Aku telepon dia dan kuwajibkan
datang. Kalau perlu pakai seragam resmi lengkap. Aku akan jadikan dia sebagai
pengamanan tambahan. Karena pengamanan Allah lebih kuat, bahkan tidak perlu ada
pengamanan tambahan. Itu hanya ikhtiar saja. Malam hari “H” dia datang dan siap
menghadiri acara nikah besoknya.
Aku minta bantuan teman lamaku untuk
mengantarku pakai Kijang. Teman senior kantorku yang sudah aku anggap orang
tuaku juga siap mengantar pakai Panther, bahkan dialah yang akan memberi
sambutan dari pihak mempelai pria.
Dengan sedikit gemetar dan mata
sedikit basah, aku lalui proses ijab kabul yang sederhana tanpa disertai
ritual-ritual yang tidak ada dasarnya seperti sungkem, injak telor, membasuh
kaki, dan sebagainya.
Tangisku meledak ketika berdua dengan
Maisya untuk pertama kalinya. Tangis makin dahsyat saat aku menghadap ibuku.
Kupeluk erat-erat ibuku, kakakku, dan saudara yang mendampingiku.
Subhanallah, aku sudah menjadi
seorang suami. Aku menjadi kepala keluarga yang didampingi oleh Maisya yang aku
dapatkan dengan “darah dan air mata”. Akhirnya kulalui rumah tangga ini dengan
segala bunga rampainya sampai dikaruniai beberapa anak yang lucu-lucu. Semoga
dapat aku lalui kehidupan ini dengan diiringi bimbingan dari yang Maha membolak
balikkan hati, sehingga hatiku tetap teguh dengan agama-Nya.
Suami Maisya
Diambil dari Buku “Semudah Cinta Di
Awal Senja” Terbitan Nikah Media Samara
Saya mendapatkan cerita ini dari
akbarabdulfattah.wordpress.com , yang juga mendapatkannya dari sumber aslinya :
http://maramissetiawan.wordpress.com/2008/06/16/kisah-nyata-aku-datang-maisya/