Kewirausahaan
merupakan kunci kemakmuran suatu negara. Demikian yang sering kita dengar dari
berbagai ceramah dan paparan mengenai entrepreneurship selama ini. Memang
demikianlah adanya, sebuah lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan
usaha-usaha baru dan entrepreneur-entrepreneur inovatif penting artinya dalam
kemajuan kesejahteraan suatu bangsa. Tetapi kadang lingkungan yang kondusif itu
bukanlah lingkungan yang damai memanjakan. Justru lingkungan yang penuh
keterbatasan, penuh konflik berpeluang lebih tinggi dalam menelurkan ide-ide
bisnis dan perusahaan-perusahaan baru yang menguntungkan.
Anda bisa saja menyangkal hipotesis ini. Namun, jika kita
menilik Israel, sangkalan Anda akan tertolak mentah-mentah. Di sebuah negara
yang tingkat keamanannya bahkan sangat rendah dan dipenuhi dengan kekerasan
setiap saat, sangat mengherankan bahwa entrepreneurship bisa tumbuh begitu
subur di sana dibandingkan belahan bumi lainnya yang lebih aman dan stabil. Apa
rahasianya?
Sebuah kajian dilakukan oleh Sarah Lacy, mantan editor senior
blogTechcrunch.com, dalam bukunya “Brilliant, Crazy,
Cocky: How the Top 1% of Entrepreneurs Profit from Global Chaos”. Lacy kemudian
memaparkan sejumlah faktor menarik yang bisa menerangkan fakta yang cukup
ironis, yaitu Israel yang meskipun didera oleh konflik yang berkepanjangan
mampu menggenjot pertumbuhan entrepreneur-entrepreneur barunya.
Mentalitas ‘chutzpah’
Terminologi ‘chutzpah’, demikian menurut Lacy, merupakan
sikap mental pertama yang menjadi faktor pendorong suburnya entrepreneurship di
sana. ‘Chutzpah’ sendiri adalah sebuah sikap yang erat kaitannya dengan keberanian,
pantang mundur, dan kesombongan (dalam en.Wikitionary.org dikatakan bahwa makna
chutzpah adalah “nearly arrogant courage”- keberanian yang hampir seperti sikap
sombong).
Keberanian yang meluap-luap dalam jiwa masyarakat Israel
dalam mempertahankan tanah yang ia duduki tecermin dengan jelas
saat anak-anak muda Israel ini terjun dalam kancah entrepreneurship. Sikap
tersebut, kata Lacy dalam bukunya, bisa dilacak asalnya dari kewajiban bagi
sebagian besar anggota masyarakatnya untuk menghabiskan 2-3 tahun sepanjang
hidupnya dalam wajib militer Israel. Pemuda-pemudi Israel sudah terlatih untuk
tidak takut mati. Dan jika Anda menemui seseorang yang tak takut dengan
kematian, mengapa ia harus memiliki alasan untuk merasa takut dengan kegagalan
berbisnis yang tidak akan membunuhnya? Separah apapun kegagalan berbisnis,
mereka berpikir masih bisa bangkit dan masih ada harapan, karena mereka masih menghembuskan
nafas.
Dengan memasuki wajib militer pada usia belia, sebagian besar
anak muda Israel juga sangat terbiasa dengan lingkungan yang keras dan kritis.
Mereka tidak terbiasa tunduk (berkat ketiadaan hirarki militer yang rumit) pada
perintah atasannya tanpa alasan yang menurut mereka cukup kuat untuk meyakinkan
mereka. Dan sikap kritis tersebut juga turut dipraktikkan saat memulai usaha
baru. Sikap kritis juga membuat mereka haus dengan hal-hal baru, sebuah
karakteristik yang sangat entrepreneurial.
Kebijakan pemerintah yang 100% pro-entrepreneurship
Sebagai kompensasi atas mandeknya perekonomian di pertengahan
dekade 1970 dan pertengahan 1980-an, pemerintah Israel merancang serangkaian
gerakan yang berfungsi sebagai pondasi untuk teknologi tinggi yang sangat
menguntungkan yang akan menghasilkan lebih banyak jutawan baru dan
memupuk perekonomian agar terus tumbuh melampaui negara maju selama 15 tahun
terakhir ini (BCC, 49). Bahkan dalam kondisi yang terjepit kekerasan
seperti sekarang pun, pemerintah Israel masih memiliki waktu dan tenaga yang
besar untuk kemajuan entrepreneurship bangsanya.
Pemerintah Israel tak segan-segan untuk menghabiskan waktu,
tenaga dan dana yang besar demi mendirikan sebuah ekosistem, perangkat hukum
dan kebijakan yang mendukung pertumbuhan lebih banyak entrepreneur baru yang
inovatif. Bahkan pemerintah Israel memutuskan untuk membuka sebagian kebijakan
‘penghalang’ yang bisa mencegah masuknya lebih banyak investasi asing di
teritorinya. Tahun 1993, pemerintah dirikan sebuah badan pendanaan bernama
Yozma. Tujuan Yozma ialah mendorong terciptanya sebuah ekosistem modal ventura
lokal yang menarik bagi investor asing terutama Amerika Serikat.
Kebijakan migrasi yang ‘terbuka’
Pemerintah Israel sangat ‘terbuka’ dengan pendatang baru di wilayah
mereka, meski dengan catatan pendatang tersebut harus memiliki darah Yahudi.
Mereka tidak membatasi imigran luar yang datang meskipun mereka tidak terlalu
menguntungkan secara ekonomis. Pemerintah sama baiknya menyambut seorang
imigran yang gagap teknologi dan imigran lain yang terpelajar dan memiliki
kompetensi dalam berbisnis. Dan seperti yang sudah banyak kita ketahui, kaum
imigran justru memiliki karakteristik yang lebih menonjol saat terjun dalam
entrepreneurship. Karakteristik imigran yang khas seperti keberanian memulai
dan mempelajari hal-hal baru di lingkungan yang sepenuhnya asing dan kurang
bersahabat dengan selera asli mereka sangat memacu tumbuhnya semangat
entrepreneurship dalam diri setiap warga Israel, terutama mereka yang masih
belia.
Penentuan waktu yang tepat (right timing)
Menurut Lacy, sejumlah perusahaan baru muncul terlalu dini
dan sebagian lainnya muncul terlambat. Maka dari itu, sebuah penentuan waktu
yang tepat sangat diperlukan. Israel adalah sebuah negara yang mampu dengan
sangat baik menentukan waktu dengan baik untuk mencurahkan perhatian terhadap
pengembangan sebuah ekosistem entrepreneurship dengan pertumbuhan yang tinggi.
Modal ventura menjadi makin besar sebagai kelompok aset sehingga banyak
perusahaan baru di Israel yang mulai untuk berpikir secara global.
sumber: http://ciputraentrepreneurship.com